Evterything is Math
I will try to know you more :)
Selasa, 17 Desember 2013
Tugas word Landasan
Isu Tes Keperawanan untuk Calon
Siswi SMA/SMK/Sederajat
I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sering kita mendengar kalimat “anak
adalah generasi penerus bangsa”. Itu merupakan suatu pernyataan yang tidak
salah, karena anak adalah modal bangsa untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa
yang maju, dan bangsa yang mandiri. Namun, untuk mencapai semuanya itu butuh
manusia yang berilmu dan berakal yang salah satunya diperoleh melalui
pendidikan di sekolah. Pendidikan tidak hanya mengajarkan ilmu dan pengetahuan,
tetapi juga mengajarkan moral seseorang anak didik. Pendidikan diperoleh siswa
telah tercantum dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 dalam pasal 6 ayat
(1) yang mewajibkan anak memperoleh pendidikan dasar yaitu 9 tahun. Pendidikan
yang kita ketahui merupakan hak asasi warga negara Indonesia, sehingga setiap
warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan tanpa memandang status
sosial, status ekonomi, gender, suku, etnis, dan agama.
Akhir-akhir
ini dunia pendidikan tengah menghadapai isu di Prabumulih, Sumatera Selatan yang
akan memasukkan tes keperawanan dalam penerimaan siswi SMA/SMK/Sederajat
pada
2014. Tes ini
dimaksudkan untuk menekan maraknya kasus prostitusi yang
diduga melibatkan siswa di daerahnya dan menjadi pengendali siswa untuk
menjaga diri dari pergaulan bebas. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih, HM
Rasyid (Kompas, 2013) mengatakan tengah merencanakan ada tes keperawanan untuk
siswi SMA/SMK/Sederajat.
Dana tes itu kami ajukan untuk APBD 2014. Hal ini membuat banyak pro dan kontra
yang terjadi dalam masyarakat luas. Banyak massa yang mengecam rencana ini,
yang merupakan langkah yang tidak diplomatis dalam sistem perekrutan siswa dan
menyalahi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang jelas tertera dalam UUD
1945. Namun banyak pihak juga yang mengetujui rencana ini.
Jika dilihat dari
psikologinya, ketika seorang siswa masuk dalam pendidikan menengah, seorang
anak tergolong remaja. Santrock (Haryanto, 2010) mengatakan bahwa adolescene diartikan
sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang
mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Rasa
ego dan rasa ingin tahu yang tinggi menjadikan seorang anak jika tidak
terkontrol akan masuk dalam lingkup pergaulan moral yang tidak baik.
Maraknya kabar dan respon masyarakat mengenai
isi tes keperawanan sebagai syarat untuk memasuki
SMA/SMK/Sederajat ditambah dengan cepatnya informasi tersebar melalui pelbagai
media, maka informasi Ini pun tersebar luas keseluruh daerah.
Hingga pada akhirnya banyak
tudingan negatif terhadap Kemdikbud yang diikuti penolakan terhadap wacana tersebut.
Sehingga
tujuan pendidikan nasional tidak akan dicapai dengan maksimal.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tes keperawanan bagi calon siswi
SMA/SMK/Sederajat yang dimaksud dalam isu kebijakan tersebut?
2.
Apa landasan hukum yang terkait dengan tes keperawanan
bagi calon siswi SMA/SMK/Sederajat tersebut?
3.
Problematika apa yang diakibatkan oleh tes keperawanan
bagi calon siswi SMA/SMK/Sederajat?
1.2 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian tes keperawanan bagi calon
siswi SMA/SMK/Sederajat yang dimaksud dalam kebijakan isu tersebut?
2.
Untuk mengetahui landasan hukum yang terkait dengan
isu tes keperawanan bagi calon siswi SMA/SMK/Sederajat?
3.
Untuk mengetahui problematika apa saja yang
diakibatkan oleh tes keperawanan bagi calon siswi SMA/SMK/Sederajat?
II.
Pembahasan
2.1
Tes
Keperawanan bagi Calon Siswi SMA/SMK/Sederajat
Tes keperawanan yang dimaksud adalah untuk mengatahui
calon siswi yang akan melanjutkan pendidikan dijenjang SMA/SMK/Sederajat apakah masih berstatus perawan atau
tidak. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih, HM Rasyid (Kemdikbud,
2013) mengakui,
rencana Disdik tersebut rentan disalahartikan dan bakal mendapat kecaman
pelbagai pihak. Disdik juga sempat takut rencana kebijakan itu bakal dicap
melanggar hak asasi para siswi. "Masalah keperawanan adalah hak asasi
setiap perempuan. Tapi di sisi lain, kami berharap seluruh siswi tak terjerumus
ke hal negatif. Karena itu, kami tetap mewacanakan kebijakan itu untuk digelar tahun
depan," tandasnya. Ia menjelaskan, wacana tersebut muncul, menanggapi
adanya rencana salah seorang orang tua siswi SMA di kota Prabumulih, yang
anaknya terjaring sindikat perdagangan manusia (human trafficking)
beberapa waktu lalu. Seorang anak dituduh telah tidak perawan oleh
orang yang disinyalir melakukan perdagangan manusia tersebut, sehingga orang
tuanya bermaksud untuk melakukan tes keperawanan bagi anaknya.
Sebenarnya, makna perawan dalam
kamus bahasa Indonesia, atau virgin
dalam bahasa Inggris, maupun bikr dalam bahasa Arab, mempunyai arti
seseorang yang belum pernah disentuh atau belum pernah menikah dan belum pernah
berhubungan intim dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Kata perawan dalam
bahasa Indonesia bersinonim dengan kata gadis yang mempunyai arti yang sama.
Namun jika diteliti, ternyata kata gadis tersebut berasal dari bahasa Arab yang
berarti suci, atau keperawanan adalah lambang kesucian dari seorang perempuan.”
(Fahmina, 2013)
Tes keperawanan biasanya dibutuhkan
untuk kasus-kasus tertentu, seperti pada pemeriksaan kasus pemerkosaan atau
syarat untuk masuk instansi atau sekolah tertentu (Wahyuningsih, 2012). Diskriminasi ini
semakin terlihat jika kita menyadari bahwa keperawanan seorang remaja perempuan
bisa hilang bukan hanya sekadar dengan cara melakukan hubungan seksual belaka. Bisa
juga hilangnya keperawanan disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan
pelecehan seksual seperti pada kasus-kasus perkosaan dan lain sebagainya. Tes keperawanan juga dianggap tidak layak
atau tidak pantas untuk dijadikan syarat masuk SMA/SMK/Sederajat karena hal ini dianggap
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
2.2
Landasan
Hukum Pendidikan Terkait dengan Isu Tes Keperawanan bagi Calon Siswi SMA/SMK/Sederajat di Indonesia
Landasan hukum atau yang sering
kita kenal yuridis merupakan titik tolak atau aturan dalam setiap elemen
masyarakat. Tidak terkecuali dunia pendidikan, landasan hukum pendidikan
menjadi acuan dalam pelaksanaan peranan seorang pendidik tenaga kependidikan. Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Kata landasan dalam hukum berarti melandasi
atau mendasari atau titik tolak. Sementara itu kata hukum dapat dipandang
sebagai aturan baku yang patut ditaati. Sehingga landasan hukum
pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari perautan perundang-undangan
yang berlaku yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Menurut Made Pidarta
(2009) landasan hukum pendidikan diartikan sebagai tempat berpijak dan titik
tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan.
Terkait dengan isu kebijakan untuk
diterapkannya tes keperawanan sebagai syarat masuk SMA/SMK/Sederajat maka banyak kalangan
yang mengecam aksi tersebut. Sebenarnya jika di lihat dari sudut pandang hukum,
banyak hal yang menyalahi kebijakan ini, bertentangan dengan landasan hukum
pendidikan di Indonesia. Berikut adalah beberapa landasan hukumnya:
1.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi:
(1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
3.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5 ayat (1) dan (5) yang berbunyi:
(1) Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
4.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 11 ayat (1) yang berbunyi:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
5.
Peraturan Pemerintah Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan
Anak Nomor 5 Tahun 2011.
6.
Undang -
undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab XIII Pasal 31 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi:
(1)
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
(2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang.
7.
Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28B ayat
(2) yang berbunyi:
(2) Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
8.
Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28C ayat (1)
yang berbunyi:
(1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
9.
Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28H ayat
(2) yang berbunyi:
(2) Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
10. Undang-undang Dasar negara Republik
Indonesia tahun 1945
Pasal
28I ayat (2) yang berbunyi:
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
11. Undang-undang Dasar negara Republik
Indonesia tahun 1945
Pasal
28J ayat (1) yang berbunyi:
(1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Dengan demikianlah tes keperawanan
menjadi salah satu tolak ukur untuk melakukan seleksi atas layak-tidaknya
seorang siswi melanjutkan pendidikan ke SMA/SMK/sederajat, hal tersebut secara
nyata telah mencederai hak dan HAM warga negara khususnya dalam dunia
pendidikan.
2.3
Problematika
Isu Tes Keperawanan bagi Calon
Siswa SMA/SMK/Sederajat
di Indonesia
Terkait dengan pembahasan tentang
penyalahgunaan landasan hukum pendidikan tersebut, banyak problema yang muncui
di masyarakat jika benar isu tes keperawanan merupakan syarat masuk
SMA/SMK/Sederajat. Adapun problematikanya adalah:
1.
Banyak anak yang tidak mengenyam
pendidikan sehingga pendidikan maka tidak merata di rasakan oleh setiap warga
negara karena sudah tentu melanggar hak anak sesuai dengan yang tercantum dalam
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (5) yang menyatakan bahwa semua warga negara
Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dalam kondisi apapun, tidak terkecuali.
Tidak memandang seseorang itu memiliki kekurangan secara fisik. Sekolah dalam
hal ini seharusnya menjadi tempat bagi siswa-siswi untuk belajar tentang ilmu pengetahuan dan mengalami pendidikan
moral dari guru. Sehingga anak atau peserta didik tidak salah pergaulan dan
mampu membentengi diri dari hal yang merusak masa depan.
2.
Berdampak kepada psikologi siswi, karena
belum tentu seseorang yang tidak perawan merupakan kesalahan diri sendiri atau
salah pergaulannya. Selain itu, kebijakan ini juga mengacu melanggar hak
seorang wanita, karena keperawanan merupakan hal pribadi seorang wanita Banyak
faktor termasuk pelecehan seksual terhadap perempuan. Hal ini tentu saja
menimbulkan efek traumatis bagi calon siswi ketika akan melanjutkan sekolah. Kita
buat permisalan, jika seorang siswi yang
mendaftar disalah satu SMA dan kemudian dinyatakan tidak lulus maka akan ada
pertanyaan apakah siswi tersebut tidak lulus karena faktor akademik atau karena
faktor tidak perawan lagi. Hal ini
akan membuat calon siswi merasa tertekan dan malu.
3.
Membengkaknya dana APBD yang rencananya
digunakan menurut Kepala Dinas
Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih, HM Rasyid untuk anggaran pengadaan tes keperawanan
4.
Tes Keperawanan siswi adalah perilaku bias gender dari
para petinggi dunia pendidikan. Bagaimanapun kondisinya, hal ini sudah tentu
harus ditolak. Sudah waktunya dunia pendidikan memikirkan pengembangan
kecerdasan anak Indonesia agar mampu bersaing di level regional dan global. Masa
depan bangsa ini ada di anak-anak yang sehat jiwa dan raganya, yang percaya
diri bahwa mereka adalah anak-anak berharga. Dalam jangka panjang, kondisi ini
mengancam penghormatan kita pada keberagaman dalam masyarakat Indonesia bahkan
keberagaman di kalangan komunitas Islam sendiri, melalaikan prinsip “Bhinneka
Tunggal Ika”, dan membiarkan diskriminasi atas nama agama dan moralitas itu
berlangsung. (Muhammad, 2010)
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan, maka
dapat kita buat kesimpulan bahwa dengan kebijakan tes keperawanan yang merupakan
syarat masuk SMA/SMK/Sederajat tidak sesuai dengan landasan hukum pendidikan
dan semua landasan pendidikan yang lainnya. Kebijakan itu bukan merupakan cara
terbaik dalam penuntasan human
trafficking ataupun pergaulan bebas remaja masa kini. Sudah saatnya manusia
Indonesia untuk maju baik dalam akademik maupun moral.
Banyak cara lain yang efektif lain
yang mampu mengatasi masalah tersebut. Bisa dengan menjadi guru sebagai
pendidik menempatkan diri sebagai teman bagi peserta didik, sehingga peserta
didik tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Harapan terwujudnya kerjasama yang baik antar elemen
dalam kehidupan bermasyarakat ikut mengawasi pelaksanaan tanggung
jawab negara termasuk mengenai
sebuah isu
ini diharapkan akan lebih
‘dewasa’.
Jika benar kebijakan yang dibuat menyalahi atau bahkan mengancam pendidikan di
Indonesia, jelas kita harus menolak dengan cara yang benar. Bagaimanapun tes semacam ini tidak layak dijadikan sebagai syarat
memasuki SMA/SMK/Sederajat.
Daftar Pustaka
Fahmina. 2013. “Tes Keperawanan, Bentuk Kebijakan Yang Salah “. Tersedia pada http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/1052-tes-keperawanan-bentuk-kebijakan-yang-salah.html. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013
Haryanto.
2010. “Pengertian Remaja Menurut Para Ahli”. Tersedia pada http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja.
Diakses tanggal 22 November 2013.
Kemdikbud. 2013. “Kemdikbud Klarifikasi Isu Tes Keperawanan di Prabumulih”. Tersedia pada http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1647. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013.
Pidarta,
Made. 2009. Landasan Kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad,
Husein. 2010. “Anggapan Komnas Perempuan Atas Laporan Human Rights Watch:
Menegakkan Moralitas: Pelanggaran Dalam Penyelenggaraan Syariah Di Aceh,
Indonesia”. Tersedia pada http://www.komnasperempuan.or.id/2010/12/tanggapan-komisi-nasional-anti-kekerasan-terhadap-perempuan/.
Diakses pada tanggal 28 November 2013.
Rasyid,
HM. 2013. “Siswi SMA di Prabumulih Wajib Tes Keperawanan”. Tersedia pada http://regional.kompas.com/read/2013/08/19/2212178/Siswi.SMA.di.Prabumulih.Wajib.Tes.Keperawanan.
Diakses tanggal 22 November 2013.
Wahyuningsih, Merry. 2012. “Tes Keperawanan Itu Seperti Apa”. Tersedia pada http://health.detik.com/read/2012/09/19/152554/2026208/775/tes-keperawanan-itu-seperti-apa/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013.
Langganan:
Postingan (Atom)